foto : istock

Kampus itu bergejolak!
Kampus kecil itu tengah dikerubungi api perlawanan!

Bergejolak, bergolak, menjilat-jilat menyelubungi pelataran kampus dengan gedung utama yang hanya delapan lantai tersebut!
    
Barisan mahasiswa mulai bergerak dari pukul tujuh pagi. Tangan berapi mereka teratur menggoyangkan pagar dengan irama serempak, macam angin meniup dahan. Mereka merangsek berduyun-duyun menjebol gerbang kampus yang penuh penjagaan. Kampus menyiagakan benteng keamaan. Mahasiswa mempersenjatai diri dengan tekad idealisme yang tajam. Sekali gerbang jebol, ribuan mahasiswa merangsek masuk dengan rapi. Meski tidak rapi-rapi amat. Kampus ini masihlah kampus berkembang. Semua kampus memang terus berkembang, namun kampus ini berkembang karena baru tujuh tahun berdiri, bukan berkembang mengembangkan yang telah ada sebelumnya.
    
Ribuan mahasiswa terhitung dua ribu, berbaris rapat di pelataran depan gedung utama kampus. Bludakan barisan mereka menyebar ke segala ruang kosong dalam areal kampus. Ratusan mahasiswa sisanya masih berada di luar tembok. Areal kampus ini tidak terlalu luas. Terdapat satu blok gedung utama letter U menghadap lurus gerbang depan dengan gagah. Di samping kiri kanannya masing-masing ada satu blok gedung letter U dua lantai. Ada lebih dari seratus kelas dan lebih dari lima puluh ruang kantor pada gedung utama. Sementara dua blok di samping gedung utama difungsikan sebagi lab-lab, kantor BEM, DEMA, UKM, Himaprodi dan kantin bagi para mahasiswa. 
    
Mahasiswa bergerak tanpa orasi, mereka bergerak dengan teriakan-teriakan lantang, senasib, seperasaan. Suara mereka menggema memenuhi kampus. Riuh redam menindas suara lain, bahkan untuk berbicara pun harus berbisik dekat atau berteriak keras-keras agar di dengar. Sepuluh menit lamanya gema perjuangan mereka berkobar, lalu sekejap berubah senyap. Tanpa dikomando mereka berteriak seirama, tanpa dikomando juga mereka diam sunyi senyap yang sudah direncanakan dan terjadawal.
    
Beberapa mahasiswa kemudian terlihat sibuk memanggul dan menata podium di depan barisan dari jejeran box-box kayu buatan mereka sendiri. Tangan-tangan mereka cekatan, teliti, serta hati-hati dalam menyatukan potongan rangkain podium−memastikan podiumnya kuat untuk dinaiki beberapa orang sekaligus. 
    
Ada seorang mahasiswa dengan tangan terlipat berdiri paling depan, lebih depan dua meter dari barisan, lebih dekat dua meter dari podium. Bibi, begitulah teman-temannya memanggilnya. Di sampingnya berdiri juga beberapa mahasiswa lain. 
    
Bibi menoleh mendekatkan kepala lantas bertanya pada seorang di sampingnya. "Mana Sutar?" Sikapnya santai, tapi raut wajah serta pergerakan bola matanya cemas. 
    
"Sutar masih di belakang, katanya dirimu dulu yang berorasi," ucap mahasiswa di sampingnya.
   
"Panggil Sutar!" Bibi menegaskan. 

Mereka memanggilnya lewat HT. Masing-masing koordinator mahasiswa dibekali sebuah HT. 
    
Tak lama, mahasiswa bernama Sutar berjalan menyibak barisan dengan beberapa pengawalan mahasiswa lain. Ia menyalami Bibi serta mahasiswa yang berdiri paling depan. Sutar dan Bibi berbisik sejenak sebelum akhirnya Sutar beranjak naik ke podium. Tangannya kemudian meraih mikrofon nirkabel. Tidak ada toa kecil seperti umumnya demo. Mereka membawa seperangkat sound system dengan toa besar. Satu diarahkan ke kampus, dan satunya ke barisan. 
    
"Baik, selamat pagi untuk seluruh kawan mahasiswa. SALAM MAHASISWA!" Seluruh mahasiswa serempak menjawab salam dengan bumbungan tinggi kepalan tangan kiri. 
    
Gema suara mereka menggetarkan dan terdengar solid. "Kali ini kita tengah berdiri bersama di hadapan muka kampus tercinta. Kampus kebanggaan kita. Tapi kenapa kampus memaksa kita berdiri bukan sebagai mahasiswa yang menunjukkan hal itu? Kita saat ini berdiri justru menunjukkan benci, menunjukkan kekesalan akan keangkuhan jajaran kampus. Ini sudah aksi kita yang kedua. Tapi pertanyaan kita belum terjawab. Haruskah kita bertanya pada pintu rektorat yang berdecit tertiup angin?" 
    
Seluruh barisan tergelak, mereka saling pandang tertawa kencang. "Ini serius lho, apa-apan kalian malah tertawa?! Lebih kencang! Terima kasih! SALAM MAHASISWA!" Jawaban salam kali ini teriring tawa yang lebih kencang. 
    
Sutar merupakan Ketua BEM, dan Bibi adalah Ketua DEMA. Seluruh instrumen organisasi intra kampus erat bergandengan untuk melawan ketidak adilan yang diberikan. Mereka membayar UKT dan kesana kemari membawa nama almamater meski tanpa dukungan kampus sama sekali. Namun balasannya hanya kenaikan UKT gila-gilaan, dosen yang tak jelas cara mengajarnya, nilai copy-paste, serta fasilitas yang tak kunjung bertambah lebih baik. Justru semakin berkurang karena rusak. 
    
Di seberang depan podium berdiri podium jajaran kampus. Berjarak kurang lebih dua puluh meter. Berada di pelataran gedung utama, terlindung oleh teduhnya kanopi. Di tengah antara keduanya ada dua baris keamanan yang disiagakan untuk mengantisipasi pergerakan mahasiswa. Salah satunya adalah Menwa kampus. Begitu orasi Sutar selesai. Rektor berdiri ke podium. Sikap dan mimik mukanya tenang nan berkarisma. 
    
"Selamat pagi anak-anakku yang tercinta, dan benar-benar saya cintai. Sebelum jawaban resmi kami utarakan, kami mohon untuk barisan pindah ke lapangam belakang ya. Kami mau agar semua mahasiswa masuk ke areal kampus. Tidak sebagian masuk, sebagian keleleran di luar ya. Bagaimana nak?"
    
Barisan mahasiswa mulai riuh, mereka saling lempar pendapat. Sutar, Bibi dengan beberapa mahasiswa tokoh UKM serta Himaprodi yang beridiri paling depan mulai berunding. Beberapa mahasiswa dalam barisan menyelonong nimbrung mengutarakan pendapat. Baisan rapi mereka nampak goyah tak beraturan. Mahasiswa yang sebelumnya di luar pagar bergerak lincah memasuki areal kampus. Berjejal desak-desakan membawa pendapat. Satu permintaan sederhana menumpahkan kematangan rencana. 
    
"Pindah ke lapangan sepertinya memang lebih baik. Ini masalah internal, maka harus selesai di internal. Lagian kalau sebagian kita terpencar, kita mudah pecah kan?” Yang berbicara adalah Miu. Miu merupakan bendahara UKM Fotografi. Seorang mahasiswi Sistem Komputer yang juga dikenal sebagai aktivis organisasi ekstra. 

Miu selalu membawa kamera yang terslempang di punggungnya, bahkan saat aksi sekalipun. Seluruh perwakilan saling tatap. Lantas mereka mengangguk setuju untuk bergerak pindah ke lapangan belakang. 
    
Sutar kembali ke podium. Ia berbalik badan menatap podium jajaran kampus. Dengan posisi berbalik, Sutar mengiyakan tawaran untuk pindah ke lapangan. Di belakangnya, barisan mahasiswa berarak dua arah melewati celah antara gedung utama dan dua gedung di sampingnya, untuk menuju lapangan. Suara kelebatan kain ratusan bendera yang tertiup angin mengiringi langkah mereka. Mahasiswa yang berduyun-duyun terpecah dua arah nampak seperti air laut yang menabrak karang. Kepalan tangan kiri kembali mengangkasa bertabur nyanyian serempak.
    
Kini barisan mahasiswa seutuhnya berada dalam lapangan. Semua mahasiswa kini di dalam areal kampus. Mereka kembali menyusun podium yang baru saja di bongkar, serta menata kembali sound system. Jajaran rektorat dan suruhan kampus berserta keamanan juga tengah menata podium. Desiran angin sesekali menggoyangkan dahan menerbaangkan dedauan kering yang berserak. 
    
Rektor kembali naik ke podium. Tengah berdiri memutar pada pinggir lapangan, terdapat puluhan orang suruhan kampus yang bersiaga dengan cat semprot. 
    
"Baik terima kasih anak-anakku semuanya, sudah mau pindah. Jika seperti ini kan enak−" Perkataan Rektor belum tuntas, orang-orang suruhan di pinggir lapangan tadi mulai menggaris pinggiran lapangan dengan cat semprot putih. Suara desisannya mengusik telinga. Dan bau catnya menusuk hidung saat menghirup udara. Perbuatan mereka menghentikan sejenak pernyataan Rektor. 
    
Namun Rektor hanya terlihat santai. Tidak merasa terganggu. Ia sesekali melihat jam tangannya, bahkan senyum bias acap kali merekah dari bibir di bawah kumis tebal. 
    
Seluruh mahasiswa bingung. Mereka mulai riuh mempertanyakan apa yang tengah terjadi. Selesai dengan cat semprot, suruhan-suruhan mulai memasang tongkat kayu setinggi satu meter mengikuti garis cat semprot. Mereka membentangkan pita yang diikatkan dari tongkat kayu ke tongkat kayu, yang kini mengurung barisan mahasiswa di tengah lapangan. Tidak ada pergerakan pasti dari mahasiswa selain riuh yang memekakkan telinga. Tokoh-tokoh mahasiswa kembali berembug. Melihat, menimbang, menilai serta memperhitungkan kemungkinan apa yang akan dilakukan di tengah keanehan sikap kampus.
    
Rektor mengetuk-ngetuk mikrofon yang tercantel di penyangga. Ia berdehem sebentar. "Mohon perhatiannya lagi semuannya. Pasti kalian bertannya-tanya ya. Jangan khawatir jangan takut. Garis-garis itu hanya pembatas bagi siapapun yang melewatinya, meski hanya sejengkal akan langsung di amankan dan di DO. Terima kasih."
    
Tidak ada mata yang tak terbelalak mendengar pernyataan Rektor. Bahkan Menwa yang hanya menjalankan tugas pengamanan mulai goyah dengan tatapan tak percaya. Barisan mahasiswa langsung riuh berteriak-teriak penuh sumpah serapah tak terima dengan apa yang Rektor sampaikan. Mereka tak paham kebijakan macam apa yang diterapkan kali ini. Puluhan mahasiswa melompati garis, namun justru mereka langsung ditangkapi orang suruhan kampus yang dibantu satpam-satpam dan petugas keamanan yang menjaga acara. 
    
Sementara Menwa hanya celingukan dengan apa yang harus mereka lakukan. Di satu sisi mereka turut bertanggung jawab akan kendali situasi, di sisi lain mereka juga mahasiswa yang di belakang layar turut mendukung aksi ini.
    
Puluhan mahaiswa yang melompat garis diseret ke depan gedung. Dipaksa menanda tangani surat DO di bawah bogeman tangan. Tak ada perbedaan perlakuan antara mahasiswa dan mahasiswi yang memberontak. Ancaman kampus bukanlah sekadar guyonan tidak lucu−mreka serius.    
    
Dari dalam barisan, mahasiswa masih saling berdebat harus melakukan apa dan bagaimana, dua jebakan licik melilit tubuh dan pikiran. Itikad baik tak selamanya dihargai, mereka langsung jatuh ketika kaki lekas memanjat naik.
    
Di tengah kalut suasana rembukan, mahasiswa bernama Koji tiba dengan napas ngos-ngosan. Tiba-tiba muncul seolah entah dari sudut lapangan sebelah mana tadi Ia tersembunyi. Setiap kali akan berbicara Koji harus menelan ludah dan mengatur napas. Persis seperti orang yang baru dikejar anjing. Di punggungnya tersemat tas keril tiga puluh liter. Tidak kosong, tapi lengkap dengan isinya. Ia berpakaian outdoor dengan sepatu tinggi dan topi rimba. Koji memanglah anggota UKM Mapala.
    
"Kabar baik, anak Mapala kebetulan bawa banyak tenda. Ada dua tenda barak. Jika harus bermalam kita cukup aman."

4 Jam Setelah Terjebak.
Pukul 15.00
    
Suasana barisan mahasiswa berangsur tenang. Perdebatan hebat di semua lini mahasiswa mereda. Semuanya sepakat untuk melihat apa pilihan terbaik yang bisa diambil sembari melihat pergerkan kampus. Butuh banyak waktu serta tenaga untuk mengatasi keruntuhan moral juang di tengah bayang-bayang musuh. 
    
Dua tenda barak berdiri di tengah lapangan dengan enam tenda tipe ridge dan dome di samping kanan kirinya. Barak satu difungsikan sebagai tempat rapat, serta barak dua untuk keperluan darurat dan medis. Ratusan bendera masih terus dikibarkan dengan ditancapkan tersebar di samping semua tenda. Kelebatan kain bendera yang tertiup angin masih terdengar keras membedol-bedol tongkat. Barisan mahasiswa beristirahat secara bergantian, kemudian berjaga bergantian. Tidak ada pergerakan kampus semenjak kejadian tadi pagi. Mereka hanya terus mengawasi dan menunggu saat yang tepat untuk memasang kembali jebakan.

7 Jam Setelah Terjebak.
Pukul 18.00
    
"Mereka mencari Bibi dan Sutar." Seorang mahasiswa menyelonong masuk barak satu. 
    
Tak ada secuil pun penerangan di lapangan kecuali pantulan cahaya bulan yang mulai memanjat langit. Mereka berinteraksi dalam dekapan gelapnya malam. Sebenarnya ada lampu di empat sisi lapangan. Namun lampu-lampu itu sengaja tidak dinyalakan barang sedikit.
    
"Aku akan ke sana," ujar Sutar tegas. Ia menatap Bibi yang hanya diam bingung. Tak ada respon dari mahasiswa lain dalam barak. Mereka semua terhenyak oleh suasana yang semakin membingungkan.
    
Seorang suruhan kampus sudah menunggu mereka di sudut lain lapangan yang lebih sepi dari aktivitas. Beberapa petugas keamanan bersiaga dengan sedikit menjaga jarak dari si PegawaiSuruhan. Suruhan tersebut menunggu dengan sesekali menyesap rokok elektrik, mengembuskan pelan asap tebalnya yang kemudian terbawa angin. Tidak ada mahasiswa lain mengikuti langkah Bibi dan Sutar. Rencana mereka kali ini adalah jika tekanan dalam tabung menguat, maka udara di dalamnya harus mendorong kuat ke depan tidak peduli apapun penghalangnya.
    
"Kukira kalian sudah berpesta menyambut kemenangan. Kami baik-baik saja, tak perlu di jenguk." Bibi membuka percakapan dengan malas. Jarak mereka bertiga hanya dipisahkan garis cat semprot di rumput dan bentangan tali.
    
"Aku tidak akan berbelit-belit, serta tidak mau tau apa yang kalian keluarkan dari lubang mulut tak sopan kalian. Aku hanya menyampaikan tawaran, sebentar lagi akan ada pasokan logistik yang sekiranya kalian butuhkan. Tapi hanya untuk malam ini. Jika kalian tetap bersikeras dengan aksi bodoh kalian selebihnya rasakan sendiri makan rumput. Dan−" 
    
"Tawaran?" sela Sutar. "Itu hak kami, kalian telah licik mengurung kami dengan ancaman. Maka kalian harus memenuhi hak kami sepenuhnya. Kau pikir bagaimana kecemasan orang tua kami saat ini? Saat ada perjanjian untuk mengumpulkan seluruh ponsel peserta di pos satpam tadi pagi, kami menerimanya dengan itikad baik. Lalu apa balasan kalian?"
    
"Aku diberi hak istimewa dalam tawaran ini. Akan kurubah aturannya." Si Suruhan kembai menyesap rokok elektrik dan mengembuskan asapnya ke arah Sutar dan Bibi. "Jika sampai besok pagi kalian tidak memutuskan mengakhiri aksi konyol ini, maka akan ada kejutan manis."

"Persetan dengan semua itu dasar penjilat!" Bibi menarik kerah si Suruhan dengan kasar. Tatapan matanya menusuk tajam dan napasnya mendengus geram. 

Tidak ada respon apapun dari si Suruhan untuk beberapa saat sebelum akhirnya Bibi mendorongnya hingga hampir jatuh. Si Suruhan hanya melengos pergi dengan melempar senyum pada dua mahasiswa itu.

12 Jam Setelah Terjebak
Pukul 23.00

Pihak Kampus mulai kembali bergerak. Orang suruhan mereka terlihat kembali mengerubungi pinggiran garis. Di belakang mereka puluhan petugas keamanaan bersiaga penuh. Di dalam lapangan, sebagian mahasiswa ganti beristirahat dan sebagian lain berjaga-jaga. Mereka mencium pergerakan aneh yang akan dilakukan. Logistik yang dijanjikan kampus tidak jadi dibagikan. Ribuan mahasiswa terpaksa menahan lapar seharian ini.

Setelah beberapa saat orang suruhan kampus mengamati keadaan, juga kemungkinan apa yang akan dilakukan barisan mahasiswa. Mereka mulai bergerak. Mereka mencabut seluruh patok tali pembatas secara serentak, lantas memasangnya kembali semakin ke dalam. Menyempitkan batas garis yang mengurung mahasiswa. Sontak tanpa aba-aba pun mahasiswa dan pihak kampus kembali riuh dalam bentrokan. 

Bentrokan sengit yang semakin menyakitkan. Menwa berbalik di ke pihak mahasiswa, menghiraukan ancaman demi kesetiakawanan. Bentrokan ini berlangsung lama. Hingga banyak anggota dua kubu menjadi korban, korban yang tidak main-main. 

19 Jam Setelah Terjebak
Pukul 06.00

Asap sisa pembakara kayu di luar lapangan masih mengepul bercampur dengan tipisnya kabut pagi hari. Lapangan di penuhi oleh serakan potongan baju serta kayu batu yang terselimut embun−senjata bentrokan tadi malam. Malam bentrokan menyisakan kemelut amarah tiada ampun dari barisan mahasiswa yang tersisa dan terus bertahan di lapangan. Kurungan mereka malam tadi semakin menyempit, dan rencana pukul rata mereka terhalang tidak seimbangnya kekuatan mahasiswa dengan petugas keamanan yang disiapkan kampus, yang bertambah dari waktu ke waktu saat bentrokan malam.

Mentari menggantikan bulan dan lekas memanjat di langit cerah kebiruan tanpa awan. Pendaran cahayanya menampar pipi-pipi kedinginan. Mengeringkan embun, menyingkap kabut yang perlahan menguap dan hilang.

Tapi tiba-tiba kini di kampus itu tidak terdapat satupun manusia. Aneh, tapi itulah adanya. Di dalam lapangan hanya ada binatang-binatang. Berbagai macam binatang yang didominasi burung hantu, kupu-kupu, kura-kura, ular, buaya, musang serta domba. Pun di luar lapangan hanya didapati beruang-beruang dan serigala mondar-mandir kesana kemari. Memanjat pohon, memanjat gedung, dan ada yang berjemur di bawah sinar matahari dengan malasnya. 

Tidak berlaku lagi garis batas kampus. Garisnya sudah lenyap, batasnya juga hilang tidak berbekas. Binatang dalam lapangan mulai bergerak keluar dengan berterbangan, merangkak, berlari, mengesot-ngesot. Mereka berbaur dengan bianatang-binatang lain. Semakin tinggi matahari menyingkap tabir pekat bahwa kampus kecil itu, sebenarnya hanyalah reruntuhan bangunan masa lampau di tengah rimbunnya hutan lindung. 

Ditulis oleh Abi Subekti
Mahasiswa Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama