foto: ilustrasi, pirWeToS2mA / unsplash

Aku puan
Bentuk kerumpangan semesta yang nyata
Si jalang yang meronta dan berontak
Ini menyangkut sekelumit relita yang merasuk sesak
Perihal alur yang serasa menindas tanpa tedeng aling-aling

Aku masih mampu bernyanyi,
Menerabas hening
Meledakkan setiap gema yang bahkan tebing
Mampu memecah, dengan bersamaan itu
Ombak menepi

Puan,
Hidup adalah sebuah pilihan
Mati adalah selera dan
Jika berkidung, bersajak serta meranti akankah kau
Mampu mencanang sebuah agenda
Perihal ronggeng sederhana dengan alunan selaras

Nah,
Ya, beginilah Puan...
Akan ku awali kali ini, dengan gerakan kaki;
Sedikit ayunan tangan dan kaki serta gelengan kepala..
Tapi jawablah terlebih dahulu;
Setidaknya kau cerna baik-baik;

Jangan menoreh sebuah pernyataan
Yang bahkan, itu tak sampai padaku
Tentang lagu-lagu yang mengambang;
Melalui melodi rumit;
Tentang rima yang tak beraturan;
Tentang mengapa seorang manusia
memilih dan dipilih;
Tentang mengapa seorang insan
bertatap dengan opsi;

Oh, ya ,
Kau semu
Batu bata merah
Tak bergerak
Tak beranjak adalah wajar

Tapi Puan,
Di palung
ampas kopimu,
Ada beberapa tanggungan yang belum kau selesaikan,
Bukankah begitu?

Terkadang memang hiperbolis
Terlalu sering melebihkan
Hal yang telah cukup
Menyalahkan jawaban,
Yang tak dirasa tepat

Bukankah itu perihal rasa cukup?

Bila hidup hanya untuk mati
Lalu bagaimana dengan Sang Hyang Mereksa menghidupimu?

Yaaa, ini yang ku maksud
Kidungku mungkin angin lalu
Tapi ini adalah tentangmu
Tentang sebuah bentuk
"Kerumpangan semesta yang nyata"

Pojok hening, 18/11/2021


Ditulis oleh Sekar Cahya Nurani
Mahasiswa Prodi Manajemen Fak. Ekonomi
Universitas Islam Balitar 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama