foto : gamajatimmesir.org
Suara ketikan jemari menekan keyboard menggema memenuhi seisi ruangan kecil dengan tiga sekat kubikel dan satu meja panjang di belakangnya. Ini adalah ruangan redaksi hukum dan politik sebuah media cetak dan daring yang cukup ternama di Ibukota, Sinar Pembaharu. Siang ini tidak ada orang, ruangan sunyi lantaran sebagian penghuninya masih bertugas di "posnya" masing-masing. Sementara sang redaktur sedang menghadiri rapat dengan pimred, menyisakan satu orang yang tengah menyelesaikan tulisannya. Friska Adeline.

Sore hari ini adalah batas tenggat waktu rubrik khusus yang digarapnya sejak tiga hari lalu. Satu setengah tahun berkecimpung di dunia pewartaan membuatnya seringkali dipercaya menulis rubrik khusus dengan tema-tema berat yang memerlukan riset bahan serta investigasi kasus yang panjang. Pos kerja Friska setiap harinya adalah pengadilan negeri. Meski terkadang ia juga diminta untuk pindah pos sementara di tempat lain karena suatu alasan.

Bola mata Friska bergerak kesana kemari meneliti setiap kata di layar laptop. Sedikit lagi koreksi rubrik khusus yang digarapnya selesai. Konsentrasi serta fokusnya yang tinggi membuatnya tak menyadari pintu ruang kerjanya terbuka, membukakan jalan bagi pria dengan setelan keneja flanel kasual bersepatu cokelat masuk. Tangan kanannya memegang gulungan map, yang lantas ia pukulkan kecil ke pundak Friska.

"Fris!"
"Eh buset!" Friska terjingkat karena terkejut, ia sontak membalik badan sambil memegangi pundaknya dengan gusar, "Mas Ren, kirain siapa."

"Kebiasaan kamu Fris, kalau nulis santai aja, jangan terlalutegang. Aku buka pintu aja kamu gak tahu, hati-hati lho kalau ada orang asing masuk tapi kamu gak tahu." 

Orang yang dipanggil Mas Ren masih berdiri dengan tangan kiri menopang di papan sekat kubikel. Ia adalah redaktur bagian Hukum dan Politik ini.

"Maaf Mas, udah terlanjur nyaman." Friska melempar senyum kikuk.

"Ada faksimile tadi dari KPK, jam dua nanti ada konferensi pers terkait OTT terbaru. Tori kan lagi sakit, dan teman-teman yang lain kan sibuk. Kamu hadiri konferensinya ya?" kata Mas Ren menawarkan penuh harap.

Sebelumnya, wartawan bernama Tori tersebut yang tugasnya memang ngepos di KPK.
"Lah ini aja belum selesai Mas, rubrik khusus."
"Udah berapa persen?"

"90 persenan sih-" belum tuntas Friska bicara, Mas Ren menyahut.
"Yaudah kirim ke PC gue, sama bahan-bahannya juga ya. Biar gue terusin, sekalian edit."

Friska tersenyum puas mendengar pernyataan redakturnya itu. Meski terlihat sepele namun menyelesaikan tulisan rubrik khusus dengan tulisan berita biasa sangat jauh berbeda levelnya.
***

Pukul 14.01, Friska tiba di pelataran parkiran gedung KPK. Ia segera menghentikan laju motor, lantas memarkirnya dan turun. Langkahnya terburu menuju ruangan dimana tempat konferensi pers akan dilaksanakan. Di dalam ruangan, telah ramai dikerumuni oleh wartawan-wartawan media lain yang lebih dulu sampai, namun konferensi ternyata belum dimulai hingga hampir setengah tiga sore.

Tak berselang lama para petugas KPK segera mengeluarkan dan membeber banyak barang bukti di atas meja. Suara jepretan kamera terdengar memenuhi ruangan dengan kilatan flash silih berganti. Tak ketinggalan, Friska juga turut mengambil gambar dengan kamera kantor yang dibawanya.

Keadaan kembali riuh tatkala para terduga koruptor yang diamankan digelandang masuk dengan rompi oranye melekat di tubuh. Meski setelah di belakang meja mereka dihadapkan ke tembok, membelakangi seluruh yang hadir dalam ruangan. Tapi sebelum itu wajah-wajah "polos" mereka kala digelandang masuk banyak dijepret oleh wartawan, sekadar guna memudahkan pelacakan nama maupun rekam jejak masing-masing jika ada diantara mereka yang bukan pejabat terkenal. 

Karena KPK pasti hanya akan menyebutkan inisial, dan tidak semua wartawan bisa menebak inisial tersebut. Tapi tidak bagi Friska, salah seorang diantara terdakwa ada yang ia kenal. Friska pandangi hasil jepretan kameranya, ia zoom bolak-balik guna memastikan deatil bahwa seorang itu adalah siapa yang ia duga sebelumnya, dan valid! Memang dialah orangnya. 
***

"Maaf Vic, pertanyaanku sangat kurang ajar tadi. Bukan bermaksud merendahkan, namun karena aku yang bertugas meliput kasus ini tadi, dan setelahnya ternyata redakturku melimpahkan peliputan sampai penulisan berita kasus ini padaku. Jadi aku hanya mau memastikan. Aku tidak ingin diantara kita ada yang salah paham." 
"Iya Fris." 

Hanya balasan cuek yang Friska dapat setelah ia mengonfirmasi seseorang tersebut. Ia adalah ayah dari salah seorang sahabatnya semasa kuliah dulu. Vica Agnes, yang masih akan menyelesaikan studi kedokterannya di salah satu universitas bergengsi tanah air, UI. Tapi sang ayah sendiri baru pindah ke ibukota setelah ia resmi dilantik menjadi anggota DPR RI.

Friska tak habis pikir dengan hal ini. Apalagi setelah Mas Ren justru menenggelamkannya lebih dalam untuk bertanggung jawab atas peliputan dan penulisan berita kasus fenomenal minggu ini. Posnya sementara dirubah, dan sebagian tugasnya yang belum selesai dilimpahkan ke wartawan desk hukum dan politik yang lain. Redaktur menginginkan Friska menginvestigasi kasus ini lebih dalam. Mengingat kasusnya yang potensial untuk diurai lebih luas.

"Gila tuh Rendra, masa tugas gue dialihkan lagi diserahin kasus beginian. Bayangin, apalagi terdakwanya bokap teman gue lagi, Jon. Padahal udah gue jelasin," celoteh Friska sambil menyesap espresso favoritnya.

"Ya kali diserahin ke gue." Orang di depannya hanya membalas seadanya. 

Ia adalah Jon Cuan, bukan nama sebenarnya, karena nama itu adalah nama panggilan rekan-rekan kantornya. Ia merupakan salah satu editor di desk Sastra Sinar Pembaharu.

"Menurutmu apa yang sering dikatakan para koruptor bahwa mereka dijebak itu beneran?" Friska melempar tanya.

"Eh." Jon mengernyit sambil menghembuskan asap rokok, sementara tangan kanannya memematikan rokok yang sudah hampir sampai pangkal di atas asbak, "yang jelas, faktanya, permainan politik itu ada dan sungguh beracun. Kalau sudah terperangkap bagai terjerat sulur berduri, dilepas paksa terluka, tak dilepas pun juga tetap terluka. Bedanya pada tingkat keparahan luka yang didapat."

Friska bersitatap dengan Jon cukup lama, bukan tatapan yang bermaksud apapun, tapi tatatapan penuh perhitungan serta pemikiran liarnya akan kasus yang ia tangani kali ini. Selama menjadi wartawan, ini baru kasus korupsi pertama yang ia tangi secara serius, karena investigasinya sebelumnya hanya berkutat pada kasus pidana maupun perdata di lingkup posnya yang berada di Pengadilan Negeri.
***

Kemarin, rubrik khusus terbaru terkait OTT yang ditangani Friska telah terbit. Ada beberapa fakta yang menampar retorika sebagian terdakwa. Fakta bahwa jual beli jabatan tertentu oleh orang yang sama sudah dilakukan setidaknya sampai lima kali terungkap oleh penuturan narasumber anonim yang diperkuat oleh dokumen bertanda tangan orang yang sama. Juga poin menggelitik lain bahwa salah satu terdakwa terus membela diri bahwa ia hanyalah korban ketidak adilan aparat penegak hukum. Ia bersikukuh telah dijebak oleh konspirasi jahat ini. 

Retorika semacam khilaf maupun terjebak justru menjadi guyonan hina di kalangan masyarakat. Setelah tertangkap baru mengatakan dirinya khilaf, khilaf yang hanya akan sadar ketika dirinya sudah tidak mampu mengeruk kekayaan negara guna mengisi pundi-pundi harta sendiri. 

Kata terjebak sendiri juga dinilai hanya pembelaan ditengah keputusasaan setelah tabiat jahatnya terbongkar. Bagai tikus dalam jebakan yang meronta-ronta ingin dibebaskan seolah sebelumnya ia mengacak-acak perabotan rumah tanpa merasa bersalah.

Rubrik khusus tulisan Friska dipandang cukup akurat untuk update terkini kasus OTT tersbut. Friska mendapat pujian bahkan dari Pimred kali ini. Tulisannya yang lugas dengan tata bahasa jelas membuatnya semakin diperhitungkan. Tetapi, dibalik kegemilangan itu semua, ia mempertaruhkan perasaan personalnya dengan sang sahabat. Bahkan Vica sudah tak membalas pesannya sejak empat hari yang lalu. Centang abu tak jua beralih menjadi biru, teleponnya darinya pun tak pernah diangkat.

Setiap saat, Friska dirundung kegamangan. Apakah yang ia lakukan sudah benar? Meski dengan terpaksa nama baik orang tua sahabatnya kerap ia "rendahkan" dalam pemberitaan.

***
Klik! Ngiieet!
Suara pintu terbuka. Friska segera masuk, menutupnya kembali lantas bergegss merebahkan diri menghujam kasur lusuh indekosnya. Hari ini ia pulang lebih awal karena rubrik khususnya membuat Friska mendapatkan penghargaan untuk cuti sehari guna menyegarkan kembali pikiran maupun fisiknya.

"Aaahh." Friska menguap sembari menutupinya dengan tangan, "capek banget rasanya." 

Ia hanya memandangi langit-langit kamar dengan malas. Friska sekonyong-sekonyong merebahkan diri dengan tas slempang yang masih ia kenakan. Sepatunya sudah dilepas, tapi kaos kaki birunya belum. 
Drrttt! Drrtt!

Ponsel dalam tasnya bergetar, tangan Friska cekatan mengambilnya. Sebuah telepon, lebih tepatnya telepon dari Vica. Friska terkesiap lantas segera bangun terduduk. Ia lemparkan tas slempangnya ke sisi lain kasur, dan ia pencet tombol hijau di layar ponsel.

"Halo, Friska?" Terdengar suara sahabatnya di seberang telepon.
"Ya, Halo Vica, apa kab-"
"Sibuk gak?" kata shaabatnya memotong perkataannya. 

"Enggak kok, ada apa Vic?" Meski dalam hati Friska senang sang sahabat menghubungi, namun di sisi lain hatinya juga merasa was-was akan bagaimana sikap sahabatnya tersebut.

"Kuy meet up, aku mau bicara nih Fris?"
Deg!
Friska tercekat. Entah kenapa pikirannya seolah mandek, serta lidahnya kelu ketika akan menyimpul kata.
"Bisa kan Fris?" ulang Vica.
"Ah, bisa-bisa Vic. Dimana?"
"Di kafe biasa saat aku ke Jakarta aja Fris, nanti malam ya?"
"Oke Vica." Friska mencoba menjawab dengan ramah meski rasanya canggung.
***

Kafe malam itu sedang ramai. Banyak muda-mudi tengah mengobrol sembari menyesap vapor ditemani beragam minuman dingin maupun berbagai macam jenis kopi panas.

Vica dan Friska sudah datang. Tapi obrolan mereka nasih kaku bagai kertas tersiram air yang telah kering. Barulah ketika pesanan mereka berdua tersaji di atas meja. Vica mulai beralih serius. Ada sesuatu yang harus dikatakannya. Ada sesuatu juga yang harus diberikannya, seperti apa yang ia berikan pada yang lain.
"Fris...."
"Ya, ada apa Vica?" tanya Friska sembari menusukkan sedotan di cup mojito pesanannya tadi.

"Jadi, lu udah tahu kan jelasnya. Aku cuma mau kebijaksanaanmu aja sebagai seorang wartawan professional."

"Ha? Apa maksudnya Vic?"
"Emmm, aku mau lu batasi aja pemberitaan yang terkait dengan bokap gue. Jangan di up secara berlebihan. Jujur, aku sendiri pun syok dengan apa yang terjadi. Bahkan lu tahu gak, nyokap gue hampir serangan jantung mendengar papa ditangkap. Jangan khawatir, aku bawa sesuatu kok," Vica merogoh tasnya. Mengeluarkan amplop cokelat berisi uang, "dua puluh juta cukup kan? Kalau kurang bilang aja Fris."

Friska kembali tercekat. Dadanya berdebar kencang dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu, juga dengan uang sebanyak itu dihadapannya. Nilainya enam setengah kali lipat dari gajinya yang baru akan naik bulan ini. Nilai uang yang bisa Friska dapat hanya dengan mengiyakan permintaan sahabatnya ini. Dengan uang dua puluh juta tersebut, cukup untuk menghidupinya setidaknya enam bulan kedepan dengan pengeluaran bulanan seperti biasanya.
"Vic? Apa-apaan ini? Aku masih belum paham."

"Udahlah Fris, lu gak usah sok naif. Terima aja, selesai perkara kan. Ini bisa menghidupimu berbulan-bulan kedepan."
"Hei, maksudku, sadarlah Vic. Pikirkan tindakanmu ini, aku tidak seperti melihat sahabatku."

"Memangnya aku juga melihat sahabatku dalam tulisanmu kemarin itu ha?"
Bak tersambar petir di siang bolong. Friska merasakan seolah belati kekecewaan Vica menghujam dadanya.

"Ma ... Aku minta maaf Vic. Tidak bermaksud merendahkan, tapi kamu pasti bisa kok."
"Toxic tahu gak sih lu! Lu gak tahu kan bagaimana perundungan yang gue terima begitu berita itu menyebar. Gue sampai memilih cuti kuliah, dan yang bikin gue sakit hati adalah perlakuan orang-orang terhadap keluarga gue, ibu gue, adik gue, kakak gue. Cuma gara-gara kesalahan bokap yang gue dan keluarga gue enggak tahu menahu sama sekali!" Sambil terus menjelaskan, mata Vica berderai air mata yang tidak bisa dibendungnya. Ia seolah menumpahkan semua rasa dalam hatinya yang selama ini ia tahan dihadapan Friska.

"Maaf ... Aku benar-benar minta maaf." Friska mengambil beberapa helai tisu, ia kemudian mengusap air mata Vica yang terus mengalir.
Begitu Friska mengusap air matanya yang berderai, Vica bergegas mengahpusnya sendiri dengan tangan. Ada beberapa pengunjung yang melihat momen itu dengan berbagai spekulasi pribadi mengenai apa yang sedang terjadi di antara keduanya.
Melihat betapa menggiurkannya uang dan tawaran tersebut, membuat hati kecil Friska sedikit goyah. Tapi ia kembali teringat akan sebuah buku Rendra. Buku yang dipinjamkan redakturnya begitu Friska diterima sebagai wartawan Sinar Pembaharu. Sebuah buku yang akhirnya ia gunakan sebagai pegangan menjadi seorang jurnalis yang setidaknya bertahan dalam idealisme pemikiran para penyoren pena. Buku yang di dalamnya memuat elemen dasar ideologi kejurnalisan.
"Maaf Vic, terima kasih minumannya. Tapi bawalah itu kembali, aku akan tetap berusaha profesional dalam pekerjaan tanpa terus membuatmu sakit hati. Aku yakin papamu memang benar-benar tidak bersalah kok. Sekali lagi maaf ...." Friska beranjak dari duduknya. Ia segera melenggang pergi meninggalkan Vica yang masih terus berderai air mata, lalu menghapusnya dengan tisu. 

Dibalik sikap tegarnya, Friska turut menyembunyikan air mata yang juga terus mengalir di balik masker serta kacamata bulat yang ia pakai, di sepanjang perjalanan pulang menuju kosnya malam ini.


Ditulis oleh Abi Subekti
Mahasiswa Prodi Agribisnis Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama