sumber : theconversation.com
Ujung pisau lipat itu tepat berada di lehernya. Tusukan sepersekian detik saja sudah cukup untuk memutuskan nafas rutin, selama usianya empat puluh lima tahun ini. Ia kekeh pada pendiriannya bahwa menyuap kepala daerah guna memuluskan proyek perkebunan itu adalah hal tidak baik: Haram. 

Hal yang sedari ia sekolah dasar sudah diajarkan kepadanya tentang baik buruk perilaku kehidupan. Juga di keluarganya, bapaknya yang merupakan seorang kiai kampung tak bosan mewanti-wanti dirinya untuk menghindari hal-hal demikian. Hal terlarang yang ia bersumpah dibawah kitab firman Tuhan dihari pelantikan untuk tidak menyentuhnya barang sedikit. Hal tidak beradab yang menyeret pada dosa besar, yang berat pula pertanggung jawabannya. 

Dua jam, semenjak maghrib ia berada di rumah rekan sejawatnya di DPR RI. Bernegosiasi mengenai rencana proyek investor lokal. Seorang konglomerat tersohor tanah air melihat peluang akan sebidang tanah luas terhitung lima ribu hektar, di daerah asalnya dulu. 

Menurut perhitungan ahli si Konglomerat, tanah subur itu berpotenssi bisnis besar ditanami tebu. Awal negosiasi ia tak menjanjikan apapun, ia hanya menyarankan untuk langsung berdialog dengan kepala daerahnya langsung. Selama niatnya baik guna membantu pertumbuhan ekonomi setempat, tidak perlu mengeluarkan sepeser uangpun pasti akan direstui. Ia tak berani jika harus melobi, dengan embel-embel ‘putra daerah’. Tugas jabatannya adalah sebagai wakil rakyat, mewakili provinsinya, ia hanya akan bekerja keras untuk hal baik yang membantu masyarakat di provinsinya bisa makmur sejahtera.

Negosiasi berubah alot berbumbu debat keras. Bergantian saling sanggah argumen masing-masing. Ia berdebat dengan membawa dalil-dalil agama yang merupakan kalimat ‘tak dia harapkan’ para politisi hitam, juga kapitalis. 

“Bajingan munafik macam apa dirimu ini?!” umpat rekan sejawatnya yang kesal.

Ia tak bergeming, tak ambil pusing dengan umpatan-umpatan. Meski memegang teguh nilai religius, ia sendiri juga kerap mengumpat. Namun umpatan yang merutnya baik, tidak terhitung dosa. Ia kerap mengumpat pada kontraktor yang kedapatan menilep dana pembangunan. Merugikan negara, mengecewakan rakyat dengan hasil kerja tak memuaskan. Proyek fasilitas publik berpoles desain futuristik, bagus di luar rapuh di dalam, tak lebih dari setahun sudah rusak. Meski rakyat sendiri juga variabel yang memperngaruhi kerusakan tersebut. 

Meski teguh dalam pendirian, ancaman pisau dileher membuatnya berpikir dalam matang-matang. Sebagai pemain baru dalam kancah perpolitikan nasional, ia terkejut dengan perlakuan rekannya ini, yang mana tak segan mengancam serius, melalui tangan preman bawahannya. 

Ia hanya diam sembari terus berpikir apa langkah yang harus dilakukan. Ia tahu, kalaupun terbunuh, rekannya ini barang pasti tak akan pernah dicurigai. Pemain lawas dan kawakan dalam pergumulan politik sangatlah licin, licik, penuh dengan intrik. Jikapun bisa lepas dari jerat berbahayanya kali ini, bak di film-film, keluarga ataupun teman dekat biasanya juga akan terancam. Bentuk intimidasi psikologis ‘kuno’, yang masih sangat ampuh hingga saat ini. 

“Bunuhlah, selesai perkara kan ...,” kata-katanya tegas, namun suranya jelas gemetar, ketakutan.  

Si Rekan merasa kasian. Memandanginya dengan menelisik dari ujung kepala hingga kaki. Terlihat tangannya menahan gemetar dan mukanya pucat pasi. Nafasnya pun mulai tak beraturan. Rekan sejawatnya itu baru teringat kalau temannya ini masihlah pemain baru, amatiran. Terlalu bergantung padanya tidak akan akan berbuah maksimal. Memeprlakukanya bak pemain lawas dengan ngancamnya terlalu keras justru akan menurunkan nama baiknya selama ini. 

Bukan untung yang didapat justru buntug terlihat. Tangan si Rekan melambai kecil, mengkode preman bayaran menurunkan pisaunya. Lantas berbisik-bisik dengan si Konglomerat, memberitahu taktik baru agar semuanya tetap berjalan mulus sesuai rencana.

“Maaf maaf, pasti kau sangat terkejut, sekarang pikirkan saja dulu, santai dulu disini. Jangan terburu-buru,” si Rekan menyuruh bawahannya yang lain meletakkan sekoper penuh uang, diatasnya tergeletak beberapa lembar dokumen rencana, “kau pikirkan saja dulu, lihat-lihat dokumennya juga, ini semua juga demi kepentingan rakyat.”

Si Rekan beranjak dari kursi empuknya, disusul si Konglomerat. Melenggang keluar santai, diikuti seluruh bawahan juga preman-preman. Menyisakan ia sendiran, terdiam dalam pikiran setengah takut, setengah tak percaya dengan semua uang dihadapnya. Sebenarnya ia tak kaget dengan banyknya uang yang disodorkan. Selayaknya politisi lain, ia dulu pun banyak keluar uang semasa kampanye. Belum lagi uang suap tim sukses juga rakyat agar mereka tak berpaling, tetap mendukung dirinya. Lagi-lagi menurutnya itu hal baik, karena dibalik semua itu, ia idealis setelah terpilih, akan memulai pembenahan dari dalam. Berusaha mencuci ‘gudang’ dewan yang terstigma ‘rumah tikus.’ Namun faktanya, justru hampir saja ia tercebur dalam lubang tanpa dasar. 

Terlintas cepat dipkirannya untuk menelpon keluarga di rumah. Dirogohnya panik seluruh kantong yang ada. Kantong celana, kantong kemeja, kantong jaket, sedanya kantong dirogohnya bolak balik. Nihil tak ada jejak ponsel. Ia baru teringat ponselnya tadi ditaruh di atas meja. Dliriknya meja kayu berlapis kaca di depannya, sama nihilnya juga. Diangkatnya koper, beserta taplak meja, memastikan. Pun sama tetap tidak ada.

Sewaktu terancam tadi dan fokusnya teralihkan, ponselnya diamankan oleh Rekannya. Si Rekan waspada jika ia tak kooperatif, bisa saja menggunakan ponsel pintarnya guna menjaring bukti-bukti. Tak ada yang dapat ia lakukan sekarang. Dihadapkan pada pilihan serba sulit yang menentukan citra masa depan. 

Terputar dalam ingatannya tatkala masa-masa perlawanan dulu. Masa dimana ia kerap kali menggebu-gebu akan narasi langkah baik untuk negeri ini. Saat ia kerap menghabiskan waktu luang disela kuliahnya guna diskusi larut pagi. Menjejali otak dengan banyak asupan pemikiran. Tak peduli asupan kiri, kanan, tengah, atas dan bawah. Membuka pikiran dari banyak sudut pandang adalah tujuan utamanya. Menyelami setiap telaga ilmu, mengamati warna, bentuk, kondisi telaga itu, bertanya-tanya kenapa setiap telaga berbeda, padahal sama-sama berisi air.

Suatu masa saat ia turun langsung berorasi lantang, menyumpah serapah manusia-manusia 'sampah.' Melihat mereka sebgai orang tak tahu diri, hanya memikirkan kelompok juga diri sendiri. Menawarkan semua idealisme dengan bangga. Memandang intrik politik sebagai rahasia umum yang mudah ditebak polanya, padahal sebenarnya dalam rahasia itu tersimpan rahasia yang rahasia. 

Ia masih duduk dengan gelisah. Tolah-toleh bingung, menggaruk-garuk kepala dan tangan yang sebenarnya tidak gatal. Diambilnya berkas di atas koper, matanya menelisik jeli, tangannya pelan membuka setiap lembarannya. mengamati setiap kata. Berkas itu berisi perencanaan jangka pendek terkait proyek yang dilobikan, menyertakan strategi menghadapi masyarakat, peta pembangunan dan penataan lahan serta relokasi. Lengkap dengan analisis pembiayaan, beserta proyeksi keuntungan yang didapat. 

Tiba-tiba ingatannya memunculkan wajah seseorang. Ingatan lama menyeruak cepat bagai kilatan petir menyambar tanah. Seseorang yang dulu menawarkan kerja sama lobi sana-sini memuluskan jalannya untuk meraih posisi dewan. Sempat ia tolak, naif, tak mau menggunakan jasa 'calo' politik, yang padahal tanpa sadar ia tetap menggunakan calo, hanya saja beda orang. 

Seorang yang licin mulut, lebih lihai merayunya. Barangkali si Calo dulu itu masih mau membantunya saat ini, setelah dulu ia remehkan. Calo itu kenal banyak orang dalam di provinsinya. Pastinya mudah baginya untuk lobi hal seperti ini. Pikirannya yang gelap berangsur terang, ia tak segan jika harus keluar uang pribadi untuk si Calo, asal dapat terbebas dari jerat rekan juga konglomerat kejam itu. 

Lima puluh menit berlalu, si Rekan kembali masuk hanya bersama satu bawahannya. Segera duduk santai dengan senyum simpul. Setelah mengantar si Konglomerat yang mendadak harus segera keluar kota karena ada urusan bisnis lain yang sama pentingnya.

"Aku akan menerimanya, tapi selanjutnya bukan aku yang handle, kenalanku di sana dulu, seorang yang kenal banyak orang dalam, lihai melobi sana-sini. Tak perlu membayar, anggap saja bonus." Ia segera menyampaikan keputusannya tegas. 

Lalu ditutupnya sekoper uang beserta sebendel berkas tadi dan digesernya ke arah si Rekan, lantas ia beranjak dari kursi, mengambil jaket dan memakainya. Ia sudah tidak betah, ingin rasanya segera bergegas pergi meninggalkan rumah bedebah itu.

Rekan sejawatnya yang merupakan salah satu orang penting di DPR itu sumringah. Menyambut baik keputusan bijak itu. Menyampaikan terima kasih atas kerja sama yang baik. Si Rekan menjentikkan jari, kode agar bawahannya mendekat, berbisik sebentar, menyuruhnya untuk mengantar keluar tamunya ini. 

Tak banyak basa-basi ia segera melenggang keluar. Di depan ruangan ternyata sudah berdiri empat orang berpakaian rapi, salah seorang diantara mereka menenteng ransel merah. Si Rekan ternayata kedatangan mitra bisnis lain yang sudah menunggu. Ia hanya tersenyum kecil tanpa peduli, berjalan cepat menyusui lorong panjang rumah rekannya, sembari sesekali memeriksa jam yang menempel di tangannya. Ponselnya yang ditahan tadi diberikan dengan sopan oleh sang Bawahan.

Ia lekas berjalan cepat tergesa-gesa. Namun sesaat sebelum menuruni tangga, ia tersadar ada sesuatu yang tertinggal. Tas slempang kecilnya tertinggal di ruangan negosiasi tadi. Tas berisi dompet, serta beberapa barang berharga yang tak bisa disepelekan, harus cepat diambil. 

Ia memberitahu si bawahan bahwa tasnya ketinggalan. Si Bawahan menawarkan agar diambilkannya saja. Sementara ia diminta menunggu di sofa bawah. Ia mengangguk mengiyakan, segera berjalan turun dan menunggu. Kepalanya terasa pusing, suasana hatinya pun tak karuan karena baru saja melewati momen mnegerikan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Sangat beruntung bak menang lotre ratusan juta, rekannya mempercayainya, mempersilahkan untuk pulang tanpa diapa-apakan sama sekali. 

Si Rekan memanglah sudah terkenal seantero jagat perpolitikan tanah air. Seorang politikus berpengaruh besar, meski belum bisa disebut elitis. Ia pun baru mengenalnya lima bulan lalu karena kebetulan satu komisi.

“Jangan bergerak!” teriak keras seseorang membuka pintu runag tamu. Delapan orang berrompi petugas KPK bergerak cepat memasuki ruangan. Di luar rumah puluhan petugas yang bekerja sama dengan polisi mengamankan lokasi. Ternyata ada operasi tangkap tangan hari ini. Rekannya terduga terlibat dalam proses jual beli jabatan penting di kementrian, dan hari ini merupakan hari transaski para oknum itu.

Ia yang tengah duduk termangu menunggu tasnya pun turut diamankan. Dirinya sempat memberi perlawanan, brusaha mengelak untuk ikut digelandang menuju gedung KPK, wajar karena ia memang tidak tahu apapun mengenai alasan penangkapan ini. 

Namun argumennya tidak berguna, ia tetap turut diamankan, terlebih ada bukti bahwa tasnya tertinggal di ruangan itu. Meski tanpa disengaja, hal itu justru berbalik tak menguntungkan posisinya. Dirinya pun terpaksa pasrah, mukanya kembali pucat pasi, terpikir bagaimana tanggapan anak, istri, orang tua, juga keluarga besarnya begitu mengetahui ia diamankan pada OTT KPK, hanya tetunduk lemas, matanya sayup. Mengalah, menerima keadaan untuk sementara waktu.


**Ironi si Dewan Putih merupakan cerita pendek yang sebelumnya telah diterbitkan dalam antologi cerpen “Artelavida” pada Agustus 2020. Ironi si Dewan Putih merupakan cerpen pertama dari seri trilogi cerita pendek. Dua cerpen lain merupakan cerpen orisinal yang ditulis untuk dimuat dalam website LPM Freedom, serta belum pernah diterbitkan sama sekali.


Ditulis oleh Bagas Abi Subekti
Mahasiswa Prodi Agribisnis Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama