“Kejar hei ...”

“Hoe cepat-cepat!”

    Suara kelima bocah yang berlarian itu terdengar nyaring terengah-terengah. Kelimanya berlarian melewati pematang sawah dengan hati-hati. Tiga menit yang lalu ada sebuah layangan berbentuk ikan, putus dan melayang melambai-lambai di udara. Anak-anak yang tengah membawa beberapa buluh bambu untuk dibuat layangan akhirnya segera mengejarnya. Mereka berlomba dengan anak-anak dusun lain mengejar layangan yang akan didapat secara gratis. 

    “Hati-hati Mbul, tuman!” 

    “Kepleset Man ...” Gembul menimpali Aman yang membantunya bangkit setelah terperosok ke sawah. Untunglah sawah yang ditanami padi itu tengah kering, lantaran pasokan air dikurangi karena akan dipanen.

    Sementara tiga bocah yang lain terus fokus berlari megikuti arah kemana layangan itu akan jatuh. Hingga mereka sampai di dekat sebuah gubuk kecil tertutup, di ladang kelapa pinggir sawah. Layangan ikan tadi berakhir menyangkut di atas dahan kelapa yang tinggi. Tidak ada yang bisa mereka perbuat kecuali hanya memandanginya dari bawah. 

    Ada tiga anak lain datang dengan ngos-ngosan, mereka dari dusun sebelah yang juga ikut mengejar layangan itu. Namun setelah melihat layangannya menyangkut tinggi, mereka lebih memilih untuk segera pergi saja. Kelima anak tadi rupanya masih belum menyerah. Mereka mencoba memanjat pohon kelapa bergantian, namun setelah setengah panjatan mereka takut lantas turun kembali. Mereka masih merasa sayang untuk meninggalkan layang ikan itu. Sebuah layangan ikan yang indah. Bentuknya sederhana tapi corak kresek yang membungkusnya warna-warni, mirip dengan corak ikan koi beragam warna.

    Beberapa lama berselang, akhrinya mereka juga memutuskan untuk segera pergi. Meneruskan pekerjaan untuk membuat layangan sendiri. Sebelum melangkah jauh, seorang bapak-bapak paruh baya datang dan memanjat pohon kelapa itu. Ia tak berniat mengambil layangan. Ia hanya akan memanen beberapa buah kelapa yang bisa dijual. Karena melihat sebuah layangan nyangkut, Ia raih dengan susah payah, lantas menjatuhkannya di tanah.

    Melihat ternyata layangan tadi jatuh. Kelima anak itu putar balik sambil berlari dan segerea memungut layangan setinggi hampir dua meter itu. 

    “Ini layangan kalian?” Tanya si Bapak Tua yang baru turun dari pohon. 

    “Bukan, ini layangan putus tadi Pak,” kata Adi menyahut pertanyan si Bapak Tua.

    Si Bapak Tua membungkuk menagmbili buah kelapa yang lantas dimasukkannya dalam karung. “Suka layangan?”

    “Suka Pak.” Kini Rika yang menjawab.

    “Owh,” si Bapak Tua tersenyum, “Ini ada gubuk tak terpakai, daripada nanti rusak, boleh kalian pakai untuk tempat buat-buat layangan. Dekat sawah juga kan, asalkan dirawat lho gubuknya.”

    “Beneran Pak?” Gembul meyahut dengan sumringah. 

    “Iya ..., nih tak beri satu kelapa muda.” Si Bapak Tua mengambil kembali kelapanya, meletakkannya, lalu segera berlalu pergi membawa sekarung kelapa muda.

***

    Seminggu telah berlalu, setelah kelimanya mulai bermarkas di gubuk tersebut. Mereka mulai menjadikannya sebagai tempat untuk menguji coba setiap layang-layang buatan mereka. Apalagi setelah lima sekawan itu menonton festival layangan di desa seberang, mereka semakin antusias untuk membuat dan menerbangkan layangan. 

    Beragam layangan telah mereka buat dengan beragam corak indah dari bentuk kecil hingga yang terbesar. Pun dengan keahlian mereka menerbangkannya, bahkan saat tidak ada angin yang berhembus pun, mereka percaya diri bisa memanggil angin dengan bersiul bersama-sama. Mitos kuno yang entah setiap kali dipraktekkan seakan-akan selalu berhasil.

    Berjalannya waktu, persahabatan mereka berlima semakin dkenal luas karena telah beberapa kali mengikuti festival layangan tahunan di desa seberang itu. Meski tak selalu juara, kemampuan mereka untuk menerbangkan layangann diakui lebih baik bahkan setara dengan orang dewasa sekalipun. Kini di pintu depan gubuk kecil mereka, tertempel tulisan pada sebuah kertas dengan spidol hitam “Sekolah Penerbang Layang-layang”. Sebuah “akademi” impian guna mengasah keahlian menjadi seorang penerbang layang-layang handal.

    Tak terasa tiga tahun sejak saat itu telah berlalu, mereka berlima kini menginjak kelas dua SMP. Terhitung sudah ada lima anak lain yang bergabung dengan tim mereka. Dari lima anak menjadi dua belas anak. Tujuh anak, usianya di bawah mereka berlima, masih kelas enam SD. Lima lainnya masih kelas tiga SD. Anak-anak itu mulai dilatih dan diajari membuat layangan yang baik. Mempertimbangkan bahan bambu yang dipakai, hingga tebal tipisnya serutan kerangka layangan yang memengaruhi kemampuan terbangnya. 

    Juga bagamana menerbangkan layangan sambil mengatami gerak hembusan angin, serta cara menyesuaikan benang dengan ukuran layangan yang diterbangkan. Mereka berlima berkeinginan untuk menjadikan tujuh anak lain ini sebagai tim cadangan setiap mengikuti festival layangan. Setelah sukses dengan membuat tim cadangan. Kini semakin banyak anak lain yang meminta ingin bergabung dengan mereka. Di sinilah justru timbul masalah yang tak terpikirkan sebbelumnya.

    Bayu dan Aman berpikir bahwa semakin banyak anak yang diijinkan bergabung justru akan membuat tim mereka tidak berkembang baik. Terlebih anak baru itu masihlah anak ingusan yang sulit diatur. 

    “Bodo lah, terserah lo aja Mbul, lo kan pemimpinnya sekarang.” Suara Bayu meninggi, jarinya menunjuk-nujuk Gembul. Ia membanting pisaunya setelah menyelesaikan bagian kerangka layangan. 

    “Eh Yu, kenapa sih lu!” Suara Gembul tak kalah kerasnya.

    “Brisik lo gendut!” Sahut Bayu yang langsung pergi dengan sepedanya.

    Aman yang juga sudah tak merasa nyaman dengan timya mengikuti Bayu pergi. Kini hanya Gembul dan Adi yang masih meneruskan membuat kerangka layangan untuk tim inti mereka berlima. Sebenarnya ada satu lagi dari lima sekawan ini, yang akhir-akhir ini juga sering absen saat kumpul, yaitu Rika. 

Rika sering membantu bapaknya yang seorang buruh stek bibit jeruk jika sedang tidak bersekolah. Tapi sebenarnya Rika masih mendukung “Sekolah Penerbang Layang-layang” mereka itu, meski kini banyak anak kecil yang bergabung, yang sebenarnya menurut Rika juga kurang bisa diharapkan kemampuannnya.

    Ketidak percayaan Bayu dan Aman kini semakin kentara, tatkala anak-anak di tim cadangan mulai mengenal ponsel pintar. Mereka jadi sulit diajak berkumpul hanya untuk sekedar membuat dan berlatih menerbangkan layangan bersama. Anak-anak itu lebih memilih bermain game yang pastinya tidak membuat mereka kepanasan apalagi kelelahan hanya untuk sekedar bermain layangan. 

    Kini mereka berlima sudah hampir lulus SMP. Setelah mempercayakan “Sekolah Penerbang Layang-layang” mereka pada anak-anak penerus, Bayu, Aman, Gembul, Rika, dan Adi mulai berfokus menggapai cita-cita masing-masing. Mereka berlima sudah kembali baikan. Melepas masalahnya yang dulu, menganggapnya hanya masalah anak-anak biasa. Sesekali mereka masih berkumpul dan bermain layangan di markas. Tentunya dengan anak-anak penerus yang semakin menipis jumlahnya, dan semakin berkurang antusiasnya kala bermain layangan. 

Mendekati UN, dua bulan lamanya mereka berlima tidak pernah berkumpul lagi di markas. Mereka terlampau sibuk dengan banyaknya kegiatan sekolah, juga mereka mulai belajar ikut bekerja serabutan untuk mencari tambahan uang saku. Keadaan sibuk masing-masing yang akhirnya mengantarkan mereka ke ujung masa gemilang “akademi” impian yang dulu mereka bangun. Kini gubuknya sudah rubuh berantakan. Sisa-sisa tiang bambunya bahkan sudah hampir habis dikerikiti rayap. Tidak ada anak-anak lagi yang suka bermain layangan di sini.

    “Yah, sepertinya kita harus membersihkannya deh.” Rika menyeletuk di tengah keheningan keempat temannya yang masih tak percaya dengan kondisi markas kebanggannya dulu. Gubuk kecil amanah Bapak Tua pemilik kebun kelapa ini. 

Atap asbesnya juga pecah berserakan. Terlihat beberapa layang-layang hancur dengan kresek pembungkusnya terkoyak. Juga terlihat layanagan gapangan kebanggaan mereka yang memang sengaja disimpaan di gubuk ikut hancur. Nampak gubuk itu tak terawat lantas rubuh setelah mereka cuti beberapa bulan. 

“Bersihin, trus bakar aja deh,” saran Gembul melihat kondisi gubuk yang sudah tidak bisa diselamatkan.

“Yaudah yuk.” Aman menyahut dengan suara berat. 

Setelah selesai membersihkan serta membakar semua serpihan kebanggaan mereka dulu, lima sekawan itu masih menatap kobaran api penuh haru. Mereka masih merasa berat dengan hal ini. Kenangan masa kecil mereka dulu akan terus membekas menjadi kebanggaan yang tak pernah terlupakan. Kenangan itu turut membumbung tinggi dalam asap dan abu yang terbawa angin dari sisa gubuk yang mereka bakar.

“Hheeh ..., kuy lah kita mabar aja,” ajak Adi mencairkan suasana hening.

“Kuy, kuy ...” Mereka berempat menyahut antusias. Meninggalkan puing-puing bambu yang berkemeretak rapuh dijilati api.


Ditulis oleh Abi Subekti
Mahasiswa Agribisnis Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar




Post a Comment

Lebih baru Lebih lama