Aksi sosial dari mahasiswa. (Foto: Unsplash/Rafli Firmansyah)

Organisasi mahasiswa di lingkungan kampus sejak dulu dikenal sebagai motor penggerak perubahan sosial. Mereka memegang peran strategis sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (pengontrol sosial).

Mahasiswa idealnya menjadi jembatan antara dunia akademik dan realitas masyarakat, mengawal kebijakan publik, serta menjadi suara bagi mereka yang termarginalkan.

Namun, realitas hari ini menunjukkan penurunan kualitas gerakan mahasiswa. Banyak organisasi intra-kampus yang kehilangan arah perjuangan, terjebak dalam rutinitas seremonial, dan berjarak dari persoalan nyata rakyat. 

Fenomena ini layak disebut sebagai “kemandulan” organisasi mahasiswa, kehilangan kemampuan melahirkan perubahan yang berarti.

Salah satu penyebab utama kemandulan organisasi mahasiswa adalah pergeseran fokus kegiatan. Banyak organisasi kini lebih mirip event organizer daripada wadah pembinaan intelektual dan perjuangan sosial. 

Mereka sibuk merencanakan acara di aula, gedung serbaguna, atau ruang rapat yang nyaman, lengkap dengan panggung dan dekorasi, tetapi mengabaikan realitas di luar tembok kampus.

Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi sebenarnya membuka peluang besar bagi gerakan mahasiswa. Informasi dan data dapat diakses dengan cepat, jaringan komunikasi mudah dibangun, dan isu-isu publik dapat disuarakan lebih masif.

Sayangnya, kemudahan ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Justru, banyak organisasi terjebak dalam “gemerlap” media sosial yang hanya memamerkan dokumentasi kegiatan seremonial tanpa tindak lanjut nyata.

Faktor lain yang memperparah adalah ketergantungan berlebihan kepada pihak kampus. Beberapa organisasi mahasiswa cenderung bersikap patuh tanpa kritis terhadap kebijakan kampus, meskipun kebijakan tersebut terkadang merugikan mahasiswa atau bertentangan dengan nilai-nilai keadilan. 

Budaya kritik yang dulu menjadi ciri khas mahasiswa kini memudar, digantikan oleh budaya “asal aman” dan “ikut arus”.

Agar organisasi mahasiswa kembali berdaya, diperlukan restorasi semangat perjuangan yang berakar pada sejarah pergerakan mahasiswa. Beberapa langkah yang bisa ditempuh antara lain:

Mahasiswa harus membiasakan diri mengkaji isu-isu sosial, ekonomi, dan politik secara mendalam. Diskusi, kajian ilmiah, dan forum terbuka harus menjadi kegiatan rutin, bukan sekadar formalitas.

Kampus bukan benteng yang memisahkan mahasiswa dari rakyat. Organisasi mahasiswa perlu turun langsung ke lapangan, mengadakan program pemberdayaan di desa, pendampingan pendidikan, atau advokasi terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat kecil.

Media sosial dan platform digital harus dimanfaatkan untuk kampanye isu strategis, menyebarkan edukasi publik, dan membangun opini yang berpihak pada keadilan.

Organisasi mahasiswa harus berani bersikap kritis terhadap kebijakan kampus, tanpa takut kehilangan fasilitas atau dukungan administratif, selama sikap tersebut berdasar pada fakta dan nilai kebenaran.

Mahasiswa bukan hanya sekadar peserta kuliah yang datang, belajar, lalu pulang. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang dibekali pengetahuan, keterampilan, dan posisi strategis untuk menjadi garda terdepan perubahan. 

Organisasi mahasiswa tidak boleh berhenti pada sekadar membuat acara; mereka harus menjadi pelopor gerakan yang berpihak pada rakyat kecil, kritis terhadap ketidakadilan, dan teguh memegang prinsip.

Kembali kepada jati diri mahasiswa sebagai kaum intelektual yang berpikir dan bertindak untuk kepentingan publik adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri kemandulan organisasi mahasiswa di kampus. (Tarisa Elvira Trisna)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama