Napi = narapidana. Kamus besar bahasa Indonesia mengatakan narapidana sebagai orang yang sedang menjalani hukuman. Orang yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang pernah dibuatnya. Pertanggungjawabannya berupa menjalani masa hukuman di lembaga pemasyarakatan. Itulah definisi-definisi yang sering didengar.

Terlalu dangkal untuk mengartikan narapidana hanya sebatas orang yang menjalani hukuman. Terdapat istilah lain yang sebenarnya harus digunakan. Misalnya orang yang sedang menjalani proses pendidikan.

Pemberian makna yang terlalu sempit membuat peyorasi terhadap sebuah kata. Hal itu berdampak pada hal yang seharusnya tidak semestinya diberi cap negatif. Namun karena terjadi peyorasi seolah-olah semua dianggap jelek.

Awal bulan Agustus lalu saya diberi kesempatan untuk bertemu secara langsung dengan narapidana di salah satu lapas di Blitar. Saya menemukan sebuah pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang tidak pernah saya duga. Tidak hanya diri saya, Teman karib juga mengatakan hal demikian.

Saya menemukan sisi positif dibalik sisi-sisi yang kelam. Bahwa, narapidana yang dipenjara karena melakukan pelanggaran hukum. Terutama terjerat kasus narkotika. Jeratan yang mereka alami bermacam-macam. Dari konsumen hingga menjadi bandar narkoba.

Dari segi psikis tentu mereka sudah tidak normal. Bukan berarti merendahkan tapi kenyataannya memang demikian. Ketika berbicara terkadang kita harus bekerja ekstra untuk bisa memahamkannya. Begitu juga ketika kita mendengarkannya.

Mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Tidak sedikit yang mata pencahariannya buruh bangunan, buruh pabrik, pekerja kasar. Jika ditilik lebih dalam, kasihan membayangkan nasib keluarga yang ditinggalkan. Saat tulang punggung keluarga harus mendekam di dalam jeruji besi.

Bahkan terdapat satu orang yang saya temui punya keinginan untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Sempat terbesit di kepala, kasih dari seorang ayah memang luar biasa.

Saking penasarannya dengan kemampuan seorang narapidana, saya putuskan untuk memberikan sedikit materi tentang kepenulisan kepada mereka. Melihat keadaan yang mereka miliki, saya mencoba memposisikan diri sebagai mereka. Agar materi yang diberikan tersampaikan dengan baik.

Materi yang saya berikan tidak menjurus ke teknis penulisan, melainkan mengarah ke motivasi. Tentu sudah tidak asing tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, Adolf Hitler, Bung Hatta dan Pramoedya Ananta Toer.

Berulang kali ucapan betapa pentingnya menulis saya ucapkan. Berkaca pada hal yang saya alami, saya mencoba merefleksikan pada narapidana. Besar harapan sebuah karya kecil dapat terbuat dari tangan mereka.

Lebih-lebih kegelisahan sering dialami. Sebuah kegelisahan di dalam hati akan lebih mudah untuk memicu semangat menulis.

Demi melihat seberapa besar kemampuan narapidana, saya wajibkan kepada semuanya untuk menuliskan pengalaman yang mereka alami. Entah pengalaman yang sudah bertahun-tahun ataupun yang baru terjadi kemarin sore.

Dugaan yang sering terbesit di kepala tenyata salah besar. Kemampuan mereka dalam menulis ada yang diatas rata-rata. Padahal pikiran mereka sudah terpengaruh oleh obat.

Melihat antusiasme yang tercermin, saya bersama kerabat merasa tercengang. Demi menghormati sebuah karya yang telah dihasilkan, tulisan orang tersebut saya pinang. Meskipun hanya sebatas di posting di blog. Namun, hal itu sudah membuat saya tertarik.

Rentetan cerita berakhir setelah acara itu juga selesai. Terkadang ketika saya menulis esai, masih terbayang di kepala pengalaman sewaktu bersama mereka.

Ditulis oleh Muhammad Thoha Ma'ruf
Mahasiswa Agroteknologi – Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama