Tiga tahun sebelum kemerdekaan negeri ini, lahir seorang pria yang kelak dikenang namanya. Soe Hok Gie adalah namanya. Ia adalah orang Indonesia beretnis Tionghoa. Makanya dijuluki si Cina kecil, yang berarti orang etnis Tionghoa yang bertubuh kecil. Bagi segelintir orang nama ini tergolong asing, tidak familiar maupun kurang terkenal. Patut dimaklumi sebab ia tidak pernah menjabat posisi strategis yang mudah dikenal oleh publik.

Terlepas dari tampang, harta, maupun keturunan yang dimilikinya, Soe Hok Gie adalah sosok yang mendekati kata sempurna. Hidupnya digunakan untuk mengabdi dan berjuang bersama teman-temannya. Agar kebenaran akan terus hidup.

Masa mudanya sering dihabiskan di luar rumah. Sering kali untuk membaca buku, berdiskusi, dan tak jarang menemui para pejabat birokrasi. Ketika teman-temannya berbicara dengan Gie, banyak yang menganggap ia seperti tiga sampai lima tahun lebih tua. 

Idealisme yang tertanam pada dirinya sangatlah kuat. Sehingga menjadi hal yang mustahil untuk mudah mempengaruhinya. Bahkan ia menolak untuk masuk organisasi ekstra kampus (ormeks). Meskipun dirayu oleh teman dekatnya sendiri. Baginya dunia politik adalah lumpur yang sangat kotor.

Saat terjadi perubahan tampuk kekuasaan dari Bung Karno ke Suharto pada tahun 1966, Gie mempunyai andil yang besar untuk memimpin demonstrasi penurunan Bung Karno. Setelah kekuasaan berganti, ia ditawari untuk duduk di kursi parlemen. Sebuah tawaran yang menggiurkan untuk diterima. Teman-temannya menerima tawaran tersebut. Namun tidak demikian dengan Gie, ia dengan kukuh menolaknya.

Ketika kebijakan Suharto banyak menyeleweng, Gie tetap mengkritik dengan lantang. Ia tidak memperdulikan siapa yang dikritik. Baginya yang terpenting, andaikan ada kebijakan pemerintah yang salah harus dikritik. Teman-teman yang ikut berjuang bersamanya banyak yang duduk di kursi parlemen. Ia kecewa dengan para kerabatnya tersebut, yang malah berfoya-foya pada saat menjadi pejabat di tengah krisis yang terjadi.

Bahkan sebelum berangkat ke gunung Semeru menjelang ajalnya, Gie mengirimkan teman-temannya yang dahulu ikut berjuang bersamanya dengan lipstik dan bedak. Hal itu ia lakukan sebagai bentuk kekecewaan pada teman-temannya.

Namun apa daya, takdir berkata lain, sosok yang digandrungi banyak orang sebab memperjuangkan kebenaran telah tiada. Dirinya menghembuskan nafas terakhir di gunung Semeru pada ketinggian 3400 mdpl pada saat mendaki. Naas, Gie berpulang selama-lamanya pada h-1 ulang tahunnya yang ke-27.

Timbul tanda tanya besar, apakah kita masih bisa menemukan pribadi seperti Soe Hok Gie.

Mundur dua belas tahun ke belakang, ketika terjadi transisi dari masa orde baru menuju reformasi banyak mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa. Kejadian tersebut mirip dengan aksi tahun 65.

Perbedaannya : tahun 65 mahasiswa bergabung dengan militer. Sedangkan tahun 98 mahasiswa bersama masyarakat sipil.

Persamaan yang jelas mengenai peserta aksi adalah tidak sedikit dari mereka yang akhirnya duduk di kursi empuk parlemen. Tahun 65 terdapat teman-teman dari Gie yang akhirnya duduk di parlemen. 32 tahun berselang terdapat orang-orang seperti : Fahri Hamzah, Fadli Zon, Adian Napitupulu, Budiman Sudjatmiko, dll, yang bergiliran mendudukinya. Bukan berarti yang duduk menjadi anggota dewan sekali jelek.

Hal itu membuktikan idealisme untuk berjuang bersama masyarakat dari bawah mudah luntur.  Godaan jabatan publik memang sangat menggoda iman. 

Dewasa ini diiringi perkembangan zaman tidak dapat dipungkiri membawa sebuah perubahan yang besar. Terutama bagi kehidupan mahasiswa. Budaya-budaya yang dianggap kuno mulai ditinggalkan. Tren membaca buku, berdiskusi, berdebat, lambat laun mulai ditinggalkan.

Kebiasaan yang berkembang akhir-akhir ini, mencerminkan hal yang lain. Kegiatan diskusi diganti main game bersama, acara debat mulai luntur berganti dengan membuat video tik-tok. Mengenyampingkan nilai moral dan kebenaran, hal itu tentu menjadi pukulan telak. 

Terlebih tidak tertanamnya idealisme yang kokoh. Sehingga mudah diombang-ambing oleh keadaan. Tidak mempunyai pendirian yang kuat. Serta mudah menelan sesuatu dengan mentah.

Sosok Soe Hok Gie, yang hidup di zaman lampau, seolah-olah hanya menjadi memoar belaka. Tokoh dambaan yang hanya menjadi sumber pengetahuan tanpa adanya peneladanan sifat. Sepertinya menjadi hal yang utopis mencari sosok seperti Gie dewasa ini.

Andaikan ia masih hidup. Lalu berjuang bersama kita. Kemungkinan besar tatanan kehidupan yang lebih layak bukan hanya menjadi isapan jempol belaka. 


Ditulis oleh Muhammad Thoha Ma'ruf
Mahasiswa Agroteknologi – Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar

1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama