Perguruan Tinggi merupakan tempat untuk mencetak generasi muda yang berintelektual. Tidak mengherankan apabila label yang disematkan kepada seseorang yang masuk untuk belajar di dalamnya bukan lagi siswa melainkan “mahasiswa”. Kata maha yang menunjukkan sebuah keagungan. Label tersebut sangat berharga bagi seseorang yang sudah tidak berada lagi di sekolah semenjana.

Implikasi pelbagai pihak tentu sangat menentukan keberlangsungan proses pendidikan di dalamnya. Semua elemen baik itu mahasiswa, dosen, karyawan, rektor, dekan, maupun guru besar (kalau ada) harus bersinergi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Bukan malah berjalan sendiri-sendiri dan merasa dirinya paling berkuasa.

Pendidikan di negeri ini terlalu ortodoks. Sehingga tidak mempunyai fleksibilitas. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah terkesan tidak memperhatikan realitas yang ada di lapangan. Sehingga lulusan yang dicetak tidak jelas juntrungannya. Padahal setiap kampus mempunyai karakteristik dan kualitas yang berbeda-beda. Kampus juga terlihat manut-manut wae dengan kebijakan pemerintah terkait perguruan tinggi, tanpa berkaca pada dirinya sendiri.

Lebih lanjut, esensi seorang mahasiswa adalah bagian dari masyarakat. Mereka hidup mulai kecil hingga remaja membaur bersama masyarakat. Mereka merasakan pelbagai permasalahan yang menemui jalan keluar maupun yang tidak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya mahasiswa menempuh pendidikan di perguruan tinggi atas dasar kegelisahan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat.

Di lain sisi, kampus-kampus yang dapat dikategorikan dengan predikat kampus lokal (mayoritas dihuni mahasiswa lokal daerah) untuk lebih mengendurkan urat syarafnya. Harus berwawas diri mengenai kemampuannya, tidak terlalu menggebu-gebu untuk menjadi kampus golongan nomor wahid. Jangan sampai niatan melambungkan nama kampus tidak dibarengi lulusan-lulusan yang berkualitas.

Menilik permasalahan-permasalahan di masyarakat yang belum terselesaikan, seharusnya menjadi pelecut semua pihak untuk bersama-sama menyelesaikannya.

Misalnya di sektor pertanian. Makin sulitnya petani mendapatkan pupuk untuk tanaman serta kualitas produk pertanian yang kian tahun terus menurun bisa menjadi gambaran. Imbasnya bisa menjalar ke sektor-sektor yang lain. Maka dari itu kampus seharusnya bisa lebih fleksibel dengan mengadopsi permasalahan di masyarakat untuk dimasukkan ke dalam pembelajaran, meskipun di luar SKS.

Permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara sinergitas pihak kampus dengan para petani. Dosen harus memberikan pembelajaran kepada mahasiswa secara maksimal. Mahasiswa harus menularkan ilmunya kepada petani. Agaknya kurangnya jumlah penyuluh dan konsultan dapat diatasi dengan keberadaan mahasiswa. Agar permasalahan demi permasalahan tidak akan terus menggaung.

Lagi, kampus seharusnya juga tidak membatasi ruang gerak mahasiswa yang ingin mencari pengetahuan lebih. Mata kuliah yang berada di luar koridor jurusan harus diperbanyak untuk memperluas wawasan mahasiswa. Jadi, tingkat kepekaan mereka terhadap isu-isu yang berkembang tetap ada. Hal spekulatif kalau mereka mau mengkritisi.

Saya sependapat dengan pernyataan yang dilontarkan pak Nadiem Makarim mengenai kebijakan kampus merdeka. “Mahasiswa dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Ini tidak berlaku untuk prodi kesehatan” pungkasnya. Andaikan hal tersebut dapat terlaksana mahasiswa yang merasa salah jurusan dapat sedikit tertolong penderitaannya. Ataupun mereka yang ingin belajar lintas prodi dapat terpenuhi dahaganya.

Kalau saya ibaratkan orang belajar itu seperti orang yang sedang merantau. Sebanyak apapun uang yang diperoleh pasti akan dibawa pulang. Begitu juga belajar di kampus, sebanyak apapun wawasan yang didapat sudah seharusnya dibawa pulang untuk dituangkan kepada masyarakat.


                                           
 Ditulis oleh Muhammad Thoha Ma'ruf
Mahasiswa Agroteknologi – Fak. Pertanian
Universitas Islam Balitar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama