Peresensi : Salma – Pendidikan Bahasa Inggris’20

Secara umum alur cerita lebih condong ke arah autobiografi karena dari awal pembahasan menceritakan sosok hidup Kim Jiyoung. Novel  ini mendapatkan sorotan besar dari masyarakat Korea, khususnya pada bagian Kim Jiyoung ketika usia menikah. Kisah tentang Kim Jiyoung membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang praktik misoginis di Korea dengan masyarakat penganut paham patriaki yang masih kuat. Patriaki merupakan paham dimana seseorang mempercayai bahwa seorang laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan. Serta meyakini bahwasannya wanita harus berada di bawah atau di belakang kaum laki-laki.

Cerita berawal dari kelahiran Kim Jiyoung, seorang anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak-anak laki-laki. Sampai-sampai ibunya meminta maaf kepada suaminya setelah mengetahui bahwa bayi yang dilahirkannya berjenis kelamin perempuan. 

Citra patriaki yang ditumbuhkan di lingkungan keluarga Kim Jiyoung berlanjut hingga dirinya dewasa. Dalam pendidikan maa kanak-kanaknya seringkali kesenjangan gender ditunjukkan langsung oleh orangtuanya, terlebih lagi ayahnya. Perlakuan keluarganya kepada saudara laki-lakinya dirasa berlebihan, dimana saat itu segala yang terbaik dimulai dari pakaian, sepatu, hingga kamar tidur kepada anak laki-laki keluarga tersebut.  

Tidak berhenti hanya di lingkungan keluarga, pada lingkungan sekolah pun Kim Jiyoung mendapati hal yang sama. Sikap yang ditujukkan oleh para gurunya terhadap siswa laki-laki dan siswa perempuan terdapat perbedaan. Misalnya dalam hal prestasi, jika seorang siswa laki-laki berhasil dalam melakukan studinya apresiasi yang didapatkannya akan lebih tinggi daripada yang diperoleh siswa perempuan. Seolah-olah semua kendali di dunia ini dipegang oleh laki-laki.

Ketika Kim Jiyoung mulai memasuki dunia kerja pun, ketidaksetaraan gender yang dirasakannya semakin bertambah kuat. Mulai dari peluang diterima kerja yang lebih besar untuk pihak laki-laki, gaji yang didapatkan pun lebih tinggi jika seorang tersebut berjenis kelamin laki-laki, padahal dengan jam kerja yang sama. Juga maraknya pelecehan yang diterima oleh karyawan perempuan. Pihak perempuan akan menanggung aib tersebut seumur hidup mereka, sedangkan pelaku melenggang dengan bebas tanpa menunjukkan rasa malu sama sekali. 

Kemudian dalam hal normal sosial, lingkungan kerja di Korea yang dipandang sebagai salah satu negara tersukses di Asia, digambarkan sangat tidak menghargai karyawan perempuan. Seperti pada kasus apabila seorang karyawan melemparkan lelucon sensitif  lingkungan disekitarnya akan mewajarkan hal tersebut. Hal berbeda akan terjadi jika seorang karyawati yang mengutarakan lelucon tersebut. 

Oleh sebab itu ketika tiba masa dirinya untuk menikah, Kim Jiyoung dengan senang hati melepaskan karier dan memilih untuk mengurus keluarganya. Sepertinya budaya patriaki memang sangatlah mengakar di negeri ginseng tersebut. Pasalnya paham bahwa perempuan harus selalu dinomorduakan kembali dia temui di keluarga suaminya. Ibu mertuanya adalah seorang yang berpaham wanita tidak boleh sukses melebihi suaminya. Keawjiban seorang istri hanyalah mendukung kesuksesan suaminya.

Konflik utama muncul ketika suatu hari Kim Jiyoung mengidap suatu penyakit oleh sebab perasaan rendah diri karena dirinya terlahir sebagai seorang perempuan yang selama ini telah dipendamnya. Beruntung suaminya adalah seorang yang perhatian sehingga Kim Jiyoung segera mendapatkan penangan yang tepat untuk membantu pemulihannya.

Sejatinya novel ini ditulis oleh Cho Namjoo sebagai sebuah bentuk terapi yang dia jalani sebagai bias dari tokoh hidup Kim Jiyoung. Penulis dengan sangat jelas menyindir kaum misoginis melalui novel ini. Sampai-sampai dirumorkan akan muncul tandingan dari novel ini yang berjudul Kim Ji-hoon, Born 1990. Sebab banyak dari masyarakat Korea yang sangat membenci apa-apa yang telah dituangkan oleh penulis pada karya tersebut. 

Jika boleh dibilang cerita yang disajikan menurut saya kurang panjang untuk ukuran konfik sekompleks ini. Kekurangan lain dari novel ini yaitu sudut pandang yang digunakan oleh penulis adalah sudut pandang orang ketiga. Sehingga, perasaan sebenarnya dari tokoh utama tidak terlalu terungkap. Apalagi jika pembaca adalah seorang laki-laki, ada beberapa bagian kecil (tidak seluruhnya) yang hanya bisa dipahami oleh sesama perempuan atau jika pembaca tersebut pernah mengalami situasi yang serupa. 

Tetapi penulis menyiasatinya dengan penyampaian gerakan tokoh yang detail. Selain itu penulisan suasana disekitar tokoh saat suatu peristiwa terjadi dijelaskan dengan runtut. Sehingga pembaca tidak kehilangan momen dan dapat menangkap apa yang terjadi, meskipun tidak menghadapi kejadian tersebut secara langsung. Poin plus untuk penulis karena beliau menggambarkan apa yang dipikirkannya dengan gamblang. Desain sampul juga memberi pengaruh tersendiri dan sangat sesuai dengan isi buku.

Pada hakekatnya, stigma yang dibangun dalam lingkup masyarakat itu sendiri yang menyebabkan tidak meratanya peran sosial tiap-tiap individu dalam bertatanegara. Perempuan harus tekun, rapi, penuh kasih sayang. Laki-laki harus kuat, rajin bekerja, melindungi. Konsep seperti inilah yang pelan-pelan merusak kesehatan jiwa manusia. Karena pada asalnya setiap manusia berhak menentukan emosinya sendiri. Emosi dan karakter merupakan hal yang bersifat universal tidak bisa dikatakan milik golongan tertentu. Dan mereka yang feminis berpedoman bahwa sex (berpenis dan bervagina) berbeda dengan gender (kesetaraan sosial antara pria dan wanita). 

Judul Buku : Kim Jiyoung, Born 1982
Penulis : Cho Nam-Joo
Penerjemah : Jamie Chang
Penerbit : Minumsa Publishing Co Ltd. Bekerja sama dengan The Grayhawk
Agency Ltd.
Cetakan : Cetakan terjemahan pertama 2020 
Halaman : 90 Halaman
ISBN : 9781631496714

Post a Comment

أحدث أقدم