foto : ilustrasi

Sebagai jiwa muda yang ingin meningkatkan kualitas diri, kebanyakan dari kita mengaku bahwa mahasiswa adalah penggerak perubahan ke arah yang lebih baik. Mahasiswa juga menjadi tonggak kekuatan moral dan pengontrol sosial. Sebenarnya, apa peran mahasiswa yang sangat bangga kita gembar-gembor kan dengan segala pujian dan slogan terbaik ini?

Seringkali, kita membanggakan atau mungkin merendahkan diri atas suatu keadaan. Tetapi, apa yang patut dibanggakan selain perjuangan? Apa yang patut direndahkan selain kesombongan dan sikap acuh tak acuh kepada nasib yang tidak menentu?

Pada kesempatan kali ini, saya tidak akan memberi para pembaca sekalian suatu motivasi yang penuh semangat, atau tips dan trik membangun revolusi mental. Saya hanya ingin mengingatkan akan sesuatu yang sedikit penting–yang bahkan seseorang lupa atau tidak menganggap hal ini penting.

Di era yang benar-benar baru ini, kita disuguhi dengan kemajuan teknologi yang cukup signifikan–melesat jauh daripada kehidupan nenek moyang kita yang pernah kita ketahui. Koneksi Internet yang sering kali kita keluhkan (jarang sekali kita puji) telah menghubungkan kita, hampir atas apapun informasi yang di unggah dalam jangkauan luas. Koneksi yang menghubungkan setiap orang atas satu orang lain maupun kelompok lain maupun lembaga berkepentingan tertentu yang kita sebut.

Berlandaskan komponen-komponen kecil yang disusun sedemikian efisien dan seefektif mungkin menghasilkan jaringan-jaringan internet yang dapat kita akses melalui ponsel, komputer, atau bahkan melalui televisi mahal Anda. Ditenagai oleh listrik, perangkat-perangkat tersebut sangat membantu kita dalam bidang ekonomi, pengelolaan data, penyimpanan data, penerimaan dan pembagian informasi, bahkan hingga bagaimana cara joget yang benar-pun, ada dalam jangkauan internet yang maha luas ini.

Meluapnya berbagai informasi dan terus datangnya kemudahan yang kita rasakan, akan berdampak baru pada pandangan kita sebagai pengguna–yang semakin terlena akan praktisnya kehidupan, pengelolaan informasi dan reaksi kita atas suatu keadaan.

Pada malam hari beberapa waktu yang lalu ketika saya menikmati secangkir kopi susu yang saya minum tipis-tipis sambil membaca sebuah buku yang sedang tenar belakangan ini. Kemudian saya dikejutkan dengan datangnya beberapa orang berseragam coklat dan abu-abu tua–yang pada celana dan bajunya terdapat banyak sekali saku dan logo beberapa lembaga terkemuka. 

Sebenarnya orang-orang ini bukanlah sekelompok kecil, karena mereka datang beramai-ramai (mungkin hampir 30 orang). Orang-orang ini menyuruh saya dan pelanggan yang lain untuk pulang dan meninggalkan tempat dan kopi susu saya yang masih setengah cangkir. Mereka berkata dengan sangat yakin bahwa ini adalah upaya untuk menghentikan pandemi yang katanya sedang berlangsung.

Sesampainya di rumah saya terbesit oleh banyak sekali pertanyaan, salah satunya, apakah iya?

Saya mengambil contoh tersebut, karena hal ini terjadi hampir di mana saja pada saat ini. Kejadian seperti ini hampir dialami semua orang dari berbagai kalangan. 

Menurut apa yang saya amati, terlalu banyak orang yang bahkan lupa untuk bertanya, apakah iya? Bagaimana jika? Jika memang seperti itu, apakah mungkin akan seperti ini?

Lalu beberapa orang mengiyakan saja hal tersebut, tanpa mereka ketahui akan kebenaran hal tersebut–di luar benar atau tidaknya hal yang dimaksud. Ketika saya mengetik tulisan ini di perangkat ponsel, saya masih heran mengapa banyak orang mengiyakan banyaknya informasi, tanpa mereka ketahui kebenarannya atau bahkan tanpa mereka berusaha untuk mengetahui.

Ini bukanlah suatu referensi tentang konspirasi atau persekongkolan ataupun pergosipan. Ini adalah suatu pengingat, mengapa kita lupa untuk bertanya? Minimal bertanya pada diri kita sendiri, lalu mempertanyakan segala informasi yang kita terima. Entah apapun jawabannya dan entah apakah Anda dan saya puas dengan jawaban tersebut atau tidak, minimal kita mempunyai keinginan untuk mengetahui lebih dalam menyangkut nasib kita dan anak cucu kita.

Dapat saya katakan pada diri saya sendiri, segala kemudahan dan kemanjaan membuat kita semakin menurut, semakin mudah mempercayai dan tidak mempercayai suatu hal, semakin malas atau bahkan tidak mau, atau bahkan lebih parahnya tidak pernah terpikirkan untuk bertanya. 

Dari pengetahuan yang kita miliki, segala keterbukaan, keterbaruan dan kenyataan akan muncul ke permukaan. Pertanyaan tidak hanya dilakukan oleh beberapa mahasiswa pada universitas tertentu, atau pada jurnalis pada kelompok tertentu. Pertanyaan adalah awal dari kemajuan suatu individu sebagai manusia yang menggunakan akal dan kemampuan bernalarnya dengan baik. 

Setiap dari kita harus bertanya untuk segala sesuatu, jika kita menghendaki akan kenyataan yang benar-benar ada. Oleh beberapa orang, hal ini disebut berpikir kritis, tetapi saya lebih menekankan pada suatu kegiatan bertanya, karena bahkan terlalu sering kita bertanya-pun tidak mau.

Seorang penulis buku bernama Yuval Noah Harari, yang menulis buku berjudul Sapiens A Brief History Of Humankind menulis sedikit tentang sejarah dan alasannya mengapa bangsa Eropa maju lebih pesat daripada bangsa lain. Sedikit saya kutip sang ilmuwan dan sang penakluk sama-sama mengatakan "aku tidak tahu apa yang ada di luar sana". Lalu mereka terdorong untuk pergi dan membuat temuan-temuan baru. Dan mereka sama-sama berharap pengetahuan baru yang diperoleh akan menjadikan mereka penguasa-penguasa dunia.

Pada saat ini, mungkin kita akan mengetahui hal tersebut dan berpikir 'betapa mirisnya pengetahuan dibarengi dengan penaklukan. Tetapi jika ditilik dari sudut pandang sejarah, justru pengakuan ke-tidak tahu-an mereka dan keingintahuan mereka yang membimbing bangsa Eropa menuju kemajuan.

Ini bukan seperti ketika saya (dan mungkin Anda) waktu kecil dilarang bermain pada jam-jam matahari terbenam, lalu bertanya kepada orang tua, kenapa? 

Beberapa umpatan dan mungkin makian akan terdengar di telinga lugu kita anak jaman sekarang kalo dibilangin jawab terus.

Jika memang kita menginginkan suatu kemajuan, kebenaran akan fakta, dan perjuangan yang berarti, maka kita tidak lagi dihalangi oleh apapun untuk suatu pertanyaan. Ini bukan tentang suatu kepercayaan atau suatu ketaatan, ini tentang suatu yang lebih dalam daripada keduanya. 

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? 
Untuk apakah suatu ketaatan harus dilaksanakan?
Ini hanyalah pertanyaan, bukan suatu tuduhan atau tuntutan, mengapa kita begitu gusar mengajukannya? 

Suatu kebanggan sejati adalah apa yang saya pribadi definisikan sebagai keingintahuan dan apa yang kita perjuangkan. Menjadi tidak berharga, saat kita merasa sudah mengetahui segala hal, ketika kita merasa acuh atas suatu keadaan, ketika bahkan kita tidak mau berjuang atas apa yang sebenarnya dapat kita lakukan.

Sesuai dengan judul pada opini saya yang mungkin kurang berdasar ini, saya ingin mengatakan bahwa : pertanyaan adalah segala keterbukaan. Terima kasih.



Ditulis Oleh Tegar Aditya Pratama
Prodi Manajemen Fak. Ekonomi
Universitas Islam Balitar

Post a Comment

أحدث أقدم